mejos-artwork

Jalan Kayu, Proses Kreatif Barata Sena

December 3, 2010

Masih segar ingatan tentang Rabu petang 31 Desember 2008. Hujan turun deras, seperti biasanya jika tahun mendekati penghujung. Ketika itu untuk pertama kali “Jalan Kayu” sebagai tajuk diproklamirkan[i] ke hadapan publik.

Hall pameran sedikit membuat tercengang sebab di situ ikut dipajang batik-batik kain panjang, bagus-bagus. Tertata layaknya di sebuah galeri yang punya citarasa. Menyergapkan tentang yang-feminin, sabar, halus, dan indah.

Artwork yang menjadi maskot pameran malam itu menggelitikkan selintas dua imaji. Entah bagaimana membuatkan nama-nama yang mudah dan jelas untuk karya-karya tersebut sebab tak berbentuk seperti kerajinan, ukiran, atau patung. Gurat-gurat di atas lempengan dan glondongan kayu tampak seperti memantulkan imaji gelombang samudra. Atau malah gelombang pikiran dan mimpi?

Yang menakjubkan, sehelai ‘pakaian’ dipajang pada kapstok tinggi. ‘Pakaian’ yang sepenuhnya terbuat dari kayu. Kayu(!) bukan kulit kayu. Menunjukkan sesuatu yang (secara teknis) jujur dari seorang seniman yang tak mau berhenti bereksplorasi demi tanggung jawab pada ilmu yang pernah dia tuntut.

Last but not least, detik-detik menjelang peresmian dimulai, muncul di ruang pamer wajah-wajah yang tidak asing, para tukang dari bengkel kerja Barata Sena. Fantastis! Mereka ternyata diundang menghadiri event pembukaan, sama seperti undangan lainnya! Untuk pertama kali kami menyaksikan hubungan emosional di balik hubungan kerja yang mendorong Barata Sena mengajak para tukangnya berjumpa publik. Tidak untuk ‘dipertontonkan’ melainkan untuk menonton pameran hasil karya yang telah dia dan para tukangnya gerakkan bersama-sama. Para tukang juga bercakap-cakap dengan sesama penonton, memberi keterangan yang valid sehubungan dengan proses kerja mereka.

                 

                  Barata Sena membangun prosesnya tidak dalam bengkel kerja yang tertutup. Akan tetapi di tengah perkampungan yang terbuka, kampung Jajar, Surakarta. Di situ warga saling kenal dengan baik, tetangga-tetangga yang tinggal paling dekat dengan kediamannya bebas mengamati kesibukannya berkarya, bahkan saling menyapa dengannya kapanpun mereka mau. Bengkel kerja tersebut bertempat di tanah yang telah dimiliki sepanjang tiga generasi. Tentu saja sarat akan sejarah kehidupan yang (secara material) dirintis oleh sang kakek dan yang kemudian (secara spiritual) diberi makna oleh sang ayah.

Faktor lingkungan memungkinkan bagi dia untuk berlatih mengasah sikap welas asih (compassion). Pada mulanya welas asih tumbuh lantaran Barata Sena harus merawat ayah dan ibunya yang sakit-sakitan dalam waktu puluhan tahun hingga kemudian mereka almarhum. Dan dengan perantaraan tetangga, kerabat, serta teman yang sedang kesusahan yang selalu datang padanya menyampaikan keluhan ini atau itu, terdesak ini dan itu (mengharapkan bantuan finansial darinya) welas asih pun dikembangkan. Bahkan pesan terakhir dari sang ayah kepadanya tak lebih dari sebuah pesan tentang welas asih, “Kelak jadilah manusia yang gemar dan senang menanam kebajikan, memiliki welas asih, dan kemurahan hati.”

Ini menunjukkan bahwa pengalaman empiris membentuk karakter individu. Watak welas asih tidak dimiliki Barata Sena dengan serta-merta melainkan hasil dari latihan berpuluh tahun lewat realitas konkret “menemani” sang ayah yang sakit-sakitan. Semenjak duduk di bangku SMA Barata Sena terbiasa dan terlatih memperhatikan dengan seksama dan mengurus tanpa henti ayah yang menderita asam urat, hipertensi, diabetes, jantung, ginjal, lambung, bahkan sakit mata, dan pernah stroke. Dalam rentang waktu 20 tahun semua penyakit itu berkumpul menjadi satu dalam tubuh sang ayah. Adapun hasil yang didapat Barata Sena dari menemaninya tak lain adalah transformasi spiritual, suatu perubahan dalam cara pandangnya terhadap tubuh fisik manusia. Cara pandang ini kemudian mempengaruhi cara pandangnya terhadap (fisik) kayu.

 

                  Tahun 2007 pekarangan rumah keluarga Barata Sena masih ditumbuhi sepasang pohon talok yang rindang. Namun tahun 2008 ditebang agar ada tempat untuk menjemur kayu-kayu yang belum kering dengan sempurna. Suatu ketika mata kami tertumbuk pada tiga glondongan kayu hangus yang digeletakkan di bawah pohon tersebut. Kami langsung merasa bahwa glondongan hangus itu akan menjadi ‘bentuk’ yang teramat cantik justru lantaran gosongnya, asal saja mendapat sentuhan yang ‘cerdas’.

Barata Sena kami tanyai dari mana mendapatnya. Dengan senang hati dia menceritakan bahwa kayu-kayu tersebut selama ini berada di tempat seorang temannya. Kebetulan tempat di mana kayu-kayu itu dionggokkan dipakai oleh seorang gelandangan untuk tidur. Sebelum tidur si gelandangan biasa menyalakan unggun agar tubuhnya hangat sepanjang malam. Tak dia sadari posisi unggun setiap malam telah membuat terbakar sebagian sisi luar glondongan-glondongan kayu. Terbakar yang cukup dalam sehingga kelihatan menjadi seperti arang. Kejadian ini berlangsung cukup lama—hingga suatu hari Barata Sena mendapati kemalangan yang menimpa kayu-kayu tersebut. Dia putuskan untuk segera mengambil dan membawa pulang ke rumah. Sama sekali tidak terlontar protes, penyesalan, atau kegusaran dari mulutnya kepada siapapun. Justru pada momen tersebut dia mengerti bahwa dia sedang mendapatkan objek langsung yang tidak direkayasa untuk menjalankan latihan welas asih, untuk practice. Menerima keapaadaannya kayu.

Kayu adalah materi pokok bagi proses kreatif Barata Sena. Kayu berawal dari pohon dan pohon-pohon bermula dari bibit-bibit kecil yang lemah. Batang kurus dengan kuncup-kuncup daun teramat mungil, perlahan, hari demi hari, mencuat dari permukaan tanah. Pada masa-masa tumbuh, mereka dihadang oleh kemungkinan terinjak manusia yang melintas seenaknya di sekitar mereka, atau oleh binatang yang berlarian bersama kawanannya di dalam hutan. Bahkan hewan-hewan kecil melata pun atau burung-burung pelatuk dapat membuat lubang-lubang pada tubuh pohon yang mulai tumbuh menjulang yang kemudian mempengaruhi keadaan kayu sehingga kayu-kayu menjadi bengkok, rapuh, atau mudah retak dan patah.

Pohon memberikan jenis kayu berdasarkan tanah tumbuhnya. Tanah tumbuh dengan iklim Gunung Kidul memberikan kayu-kayu yang berbeda dengan tanah tumbuh beriklim Solo. Penduduk di masing-masing wilayah tersebut akan terbiasa dengan jenis kayu yang banyak tumbuh di wilayah mereka. Akan terbiasa menggunakan jenis kayu tersebut untuk mendirikan rumah atau membuat perabotan. Penduduk di daerah Cepogo dan Selo di kawasan Gunung Merapi-Merbabu dikelilingi tanaman pohon sengon. Mereka terbiasa dengan tumbuhan itu. Di sana banyak rumah-rumah asli Jawa yang ditempati dari generasi ke generasi, terbuat dari kayu sengon. Apabila di antara penduduk ada yang amat mendambakan rumah mereka dibuat dari bahan kayu kalimantan, hanya karena umumnya kayu sengon dipahami masyarakat di luar daerah mereka sebagai kayu yang tidak baik, lunak, dan harganya murah, itu artinya mereka telah gagal menghargai yang telah dipersiapkan alam sekitar mereka untuk kebutuhan mereka.

Sebagian besar orang cenderung memberikan label pada kondisi fisik kayu—jelek, cacat, patah, berlubang, tidak berharga. Kebanyakan tidak mampu melihat kayu sebagaimana apa adanya. Kayu yang secara natural telah disediakan oleh tanah tumbuhnya. Kayu sebagai kayu. Tanpa embel-embel, tanpa atribut. Tidak ada kayu ini, tidak ada kayu itu. Tidak ada mahoni, sengon, jati, eboni, nangka, ulin, atau kamper. Melainkan kayu—seperti halnya naturalitas tubuh manusia— yang memiliki sifat-sifat natural yang bisa berubah, retak, pecah, patah, banyak mata kayunya, bisa rapuh, bisa termakan hama, dan yang pada akhirnya akan hancur dimakan waktu! Naturalitas kayu tak berbeda dengan naturalitas tubuh (fisik) manusia. Suka tidak suka waktu menggerus fisik manusia dan tak seorangpun dapat berkelit dari gerusan itu. Demikian juga dengan kayu.

Kayu mendapat berbagai macam label lantaran ‘pikiran’ manusia cenderung serakah. Tidak mau berlatih untuk melihat naturalitas segala sesuatu di alam sekitar sebagai sesuatu yang wajar, sesuatu yang apa adanya. Pikiran kebanyakan orang telah dididik, dilatih, dan dibiasakan untuk mencenderungi dan meyakini dikhotomi baik dan buruk. Bahwa kayu yang kuat adalah kayu yang lurus bukan yang bengkok, yang bermutu adalah yang bersih bukan yang lêthêk, yang baik adalah yang mulus tanpa gores/lubang. Sehingga ketika kayu menunjukkan dirinya sebagaimana apa adanya, hampir-hampir tidak ada orang yang mampu, bahkan tidak mau, melihatnya sebagai bukan-jelek, bukan-cacat.

 

                  Jalan Kayu adalah jalan bagi sang seniman untuk menerima, memberi, dan melepas. Jalan yang memampukannya menerima keapaadaannya (naturalitas) kayu. Jalan yang memampukannya memberi pada kayu sikap mental yang menghormati, menghargai, berpikiran positip, dan nilai penting. Jalan yang memampukannya untuk berbahagia dalam sikap melepas; suatu sikap yang lepas bebas (detachment) dari keinginan untuk meng-hak-i atau meng-klaim bagi dirinya sendiri keistimewaan-keistimewaan yang ditimbulkan oleh karya-karya ciptanya demi kesejahteraan orang lain.

Menghidupi Jalan Kayu sebagai lelaku berarti membangun mentalitas dan watak yang bersendikan kesadaran yang aktif terhadap pikiran, perasaan, tubuh, pencerapan, dan formasi-formasi mental. Lelaku meditatif setiap saat—tanpa keharusan akan ritual duduk diam menutup mata di tempat sepi menikmati ketenangan yang semu. Dengan proses kreatif dan gerak kehidupan sehari-hari sebagai objek meditasi. Kini dan di sini, yang kontemporer. Demi tujuan yang tak dapat ditawar: welas asih. Sehingga berkarya baginya tak membutuhkan ketercerabutan dari waktu atau rekayasa terhadap ruang. Berkarya baginya tak lebih tak kurang adalah hidup itu sendiri. Menghidupi.

Menerima, memberi, dan melepas membentuk satu kesatuan di dalam Jalan Kayu. Satu terhadap lainnya tidak sebagai anak tangga, yang satu tidak mendahului yang lain. Memberi tidak mendahului menerima sebagaimana lazim dipahami masyarakat lewat hukum sebab akibat (take and give). Dan melepas itu sendiri merupakan suatu bentuk memberi yang amat teramat halus. Dalam Jalan Kayu konsep menerima dan memberi adalah konsep kolaboratif. Bagi pe-Jalan Kayu hampir-hampir sukar untuk meng-ada-kan pemisahan hitam putih tentang apakah memberi lebih dulu dari menerima atau menerima lebih dulu dari memberi. Pendek kata aspek kolaboratif muncul ketika aspek memberi muncul. Kreativitas berkarya mulai bergerak pada titik kemunculan aspek memberi.

Keseluruhan proses di dalam Jalan Kayu dimulai dengan sikap yang lepas bebas dari penilaian yang bersifat mengecilkan, meremehkan, atau memandang enteng pada kayu. pada titik sang seniman telah memahami dan secara sadar bersikap dan bertindak menerima keapaadaannya kayu, kayu dengan seluruh kondisinya yang berlubang-lubang, serta dapat pecah, patah, rusak, lapuk, dan usang dimakan waktu, dia sekaligus telah memberi penghargaan, penghormatan, sikap positip, dan nilai penting kepada kayu. Jalan Kayu tidak mengenal pembanding-bandingan akan kayu. Sang seniman tidak mengenal paham ‘ini kayu terbaik’, ‘ini kayu yang paling diminati pasar’, atau ‘ini kayu cacat’. Hanya ada proses. Ketika kemudian karya-karya sang seniman ditiru, digandakan, atau diklaim oleh orang-orang lain, dia telah memahami kemungkinan itu sejak awal dan dengan segera dapat melepas pikiran yang protes atas situasi itu dengan sikap tetap tersenyum bahagia sebab secara sadar dia mengetahui bahwa orang-orang di luar sana meningkat kesejahteraannya lantaran meniru atau menggandakan karya-karya yang dia ciptakan. Bagi dia tidak perlu hak-hak paten sebab yang lebih penting adalah apabila semakin banyak orang (umat manusia) yang hidupnya menjadi sejahtera.

                   Melepas dalam konteks Jalan Kayu berbeda dengan kepasrahan. Ada orang yang bisa menerima dan memberi, tetapi belum tentu bisa melepas. Pada cara pandang seseorang yang pasrah, dominan ke-pasip-an. Orang yang pasrah menyikapi vonis dokter terhadap kesehatannya dengan mengatakan, “Ya, beginilah nasib saya jadinya.” Seseorang yang berwatak melepas menyikapi vonis dokter terhadap kesehatannya dengan sikap yang aktif. Dia memandang vonis dokter justru sebagai kesempatan untuk meningkatkan intensitas latihan dalam melepas. Demikian juga seseorang yang divonis oleh dokter untuk amputasi di tumit sesegera mungkin agar diabetes yang dideritanya tidak menjalar lebih jauh. Sebagai pribadi yang telah memahami pentingnya melepas, pasien ini minta pada dokter agar amputasi dilakukan justru pada pangkal pahanya. Tentu saja dokter menjadi heran sebab pasien ini tidak (seperti biasanya para pasien) mengusulkan agar dokter menemukan cara lain yang bukan amputasi dan masih diembel-embeli pernyataan bersedia membayar berapapun biaya yang dibutuhkan dokter darinya. Bagi pasien tersebut kakinya telah berjasa selama 50 tahun. Maka itu, pada pendapatnya, sudah wajar apabila kakinya ingin pensiun. Sudah cukup kebahagiaan yang diberikan oleh kakinya kepadanya. Pasien ini justru melepas agar kakinya diamputasi hingga pangkal paha sebab diamputasi hingga tumit hanya akan membuat tungkainya kelihatan tidak artistik (kiwir-kiwir). Ini justru akan menjadi beban yang berkepanjangan bagi perasaannya.

      Seseorang yang berwatak pasrah yang aktif, yang telah memahami dan bermental melepas, ketika divonis oleh dokter akan mengalami kebutaan dalam tempo beberapa minggu, justru memutuskan menggunakan hari-hari menjelang kebutaannya untuk membaca teks-teks suci. Secara nalar tidak memungkinkan baginya memelototi huruf-huruf kecil dan rapat. Akan tetapi pikirannya yang kreatif lalu membuat cara yang ampuh, dia meminta orang-orang di sekitarnya (anggota keluarganya) untuk menuliskan (menyalin) teks di atas kertas-kertas lebar dengan huruf besar-besar dan tebal. Hingga hari-hari terakhir yang divoniskan oleh dokter kepadanya, pasien ini justru berlatih mengatasi kesulitan matanya dengan memompa tekadnya merampungkan bacaan-bacaannya.

      Melepas adalah bagian yang tidak mungkin dipisahkan dari naturalitas fase kehidupan setiap makhluk hidup. Makhluk manusia (human being) bahkan juga makhluk hidup lainnya (living being[ii]) selalu dihadapkan pada proses melepas. Seorang anak yang mulai memasuki usia di mana gigi susu akan berganti menjadi gigi tetap terlebih dulu harus mengalami tanggal gigi-gigi susunya. Untuk menjadi gigi tetap gigi susu harus dilepas, bahkan tidak jarang harus segera dicabutkan ke dokter gigi agar ada tempat untuk gigi tetap. Demikian juga setiap pohon yang akan menghasilkan buah tak mungkin mempertahankan bunga-bunganya sembari menghasilkan buah. Secara natural fase berbunga dan berbuah berbeda. Fase yang satu harus berlalu terlebih dulu barulah kemudian fase berikutnya mendapat tempat untuk muncul. Untuk menjadi buah, bunga harus lebih dulu hilang dari pohon. Perubahan (melepas) gigi susu menjadi gigi tetap dan bunga menjadi buah menandakan bahwa setiap fase dalam kehidupan dihadapkan pada perubahan, pada melepas.

      Kesadaran untuk melepas adalah hasil dari suatu pemahaman bahwa kayu-kayu yang kita kerjakan, sebagus apapun, dia itu bukanlah milik kita, meskipun dia ada di rumah kita. Tetap saja dia bukan milik kita karena dia milik alam. Tidak akan pernah benar-benar menjadi milik kita. Dan karena dia milik alam maka dia bergerak dan berubah juga mengikuti hukum alam, tidak mengikuti keinginan pikiran kita. Pada musim kemarau kayu-kayu mengalami penyusutan karena kandungan air di dalam batang berkurang, sementara pada musim hujan kayu-kayu mengalami pengembangan. Ini menandakan bahwa kayu-kayu juga berkolaborasi dengan alam sebab alam adalah majikannya. Karena dia milik alam maka suatu saat alam jugalah yang akan mengambilnya kembali. Sekalipun segelintir orang dapat memaksakan intervensi jangka pendek, akan tetapi secara umum hingga saat ini manusia tidak pernah benar-benar bisa sepenuhnya mengatasi proses kealamiahan itu.

Pun kesadaran untuk melepas berhubungan dengan ketidakmelekatan serta kemampuan bersyukur. Seorang pe-Jalan Kayu yang berkarya dengan kayu tidak melekati apapun respon atau penilaian yang diberikan masyarakat dan para penikmat kayu terhadap karya-karyanya. Apakah itu pujian atau celaan, tidak satupun dari itu yang dapat mengubah kerendahan hati yang inheren dalam sikap welas asihnya. Tetap tenang dan terkendali adalah ciri seorang pe-Jalan Kayu bila berhadapan dengan penilaian-penilaian yang sifatnya dikhotomik. Demikian juga halnya dengan seorang penikmat kayu yang telah bertemu Jalan Kayu. Apabila salah satu meja kayu miliknya mengalami keropos dimakan rayap, dia dapat menerimanya dengan hati ringan, bahwa memang sudah sewajarnya apapun perabot kayu miliknya suatu ketika akan rusak. Sekalipun perawatan maksimal telah dijalankan olehnya tidak mustahil ada saat di mana perabot kayu miliknya tidak dapat tidak akan mengalami kerapuhan. Setelah sikap menerima dia kemudian memberi ucapa terima kasih kepada alam semesta dan kayu tersebut sebab mereka telah memberikan jasa kebaikan kepadanya sepanjang masa pakai.




[i] Mall Solo Square, Solo, Jawa Tengah.

[ii] Meminjam istilah Thich Nhat Hanh dalam Robert Ellsberg (Ed.) (2001). Thich Nhat Hanh Essential Writings. Maryknoll, New York: Orbis Books.

 

Jalan Kayu, Creative Process Flow of Barata Sena (english version)

December 3, 2010

Still fresh in memory of Wednesday evening on December 31st 2008. The rain came hardly, just like it used to at the end of the year. At that day for the first time “Jalan Kayu” has been proclaimed in front of the public as the crown.

            The exhibition hall is a little make amazed because in that place there was also displayed the long beautiful Batik cloth. Sober like...


Continue reading...
 

About Me


I am an experienced wooden artwork artist.

Blog Archive

Make a Free Website with Yola.